contoh makalah kelembagaan masyarakat desa



MAKALAH
KELEMBAGAAN MASYARAKAT DESA
“ Program IDT Tahun Keempat “IBARAT AIR TUMPAH DI PASIR” ”



   Disusun Oleh :
1. Resi Tri Wulan        (E1D014196)
      2. Aji Susanto              (E1D014080)
      3. Deni Asmarita          (E1D014135)
      4. Adriyanda                (E1D014004)
      5. M. Fakhri Jamil        (E1D014102)
     6. Febby Fattarawati    (E1D014151)
     7. Phita Pharamita I.     (E1D014016)
     8. Sintia Parera             (E1D014050)
     9. Doni Satria P.           (E1D014010)
Dosen Pengampu : Septri Widiono, SP. M. Si

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lembaga atau institusi adalah wadah untuk mengemban tugas dan fungsi tertentu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kelembagaan terbangun atas interaksi antar individu dengan kebiasaan berpikir. Kelembagaan adalah sistem tindakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Menurut Sitti Bulkis (2011), Kelembagaan lokal dan area aktivitasnya terbagi menjadi tiga kategori, yaitu kategori sektor publik (administrasi lokal dan pemerintah lokal); kategori sektor sukarela (organisasi keanggotaan dan koperasi); kategori sektor swasta (organisasi jasa dan bisnis swasta). Bentuk resmi suatu lembaga yaitu lembaga garis (line organization, military organization) lembaga garis dan staf (line and staff organization); lembaga fungsi (functional organization). Jadi pengertian dari kelembagaan adalah suatu sistem sosial yang melakukan usaha untuk mencapai tujuan tertentu yang menfokuskan pada perilaku dengan nilai, norma, dan aturan yang mengikutinya, serta memiliki bentuk dan area aktivitas tempat berlangsungnya.  
Kelembagaan memiliki tugas dan fungsi yang harus diperhatikan yakni :
Tugas kelembagaaan
a. Menyusun  rencana pembangunan yang partisipatif.
b. Menggerakan swadaya gotong royong masyarakat.
c. Melaksanakan dan mengendalikan pembangunan.
Fungsi kelembagaan :
a. Penampung dan penyalur aspirasi masyarakat dalam pembangunan.
b. Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam rangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
d. Penyusunan rencana, pelaksana, pengendali, pelestarian dan pengembangan hasil-hasil pembangunan secara partisipatif.
e. Penumbuh kembangan dan penggerak prakarsa dan partisipasi, serta swadaya gotong royong masyarakat. 
f. Penggali, pendayagunaan dan pengembangan potensi sumberdaya serta keserasian lingkungan hidup.
            Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh suatu lembaga masyarakat yaitu, sebuah lembaga harus dapat dipercaya oleh anggota masyarakat. Seperti halnya kasus yang akan kita bahas dalam materi makalah yang berjudul “ PROGRAM IDT TAHUN KEEMPAT “ IBARAT AIR TUMPAH DI PASIR” “.
1.2 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui apa itu “pembangunan”
2. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan program IDT di lokasi mengalami “kegagalan”
3. Untuk mengetahui apakah terdapat gejala saling “tidak percaya” ditengah-tengah masyarakat.




BAB II
PEMBAHASAAN
2.1 Ringkasan Isi Bahan Bacaan
Program IDT Tahun Keempat “Ibarat Air Tumpah Di Pasir”
            Perkenalan, Pejajagan masalah dan kebutuhan adalah tugas awal setiba dilapangan. Perkenalan dilakukan dengan cara mengunjungi semua desa secara bersama-sama oleh semua anggota tim fasilitator dengan maksud para personil dapat lebih memahami kondisi desa-desa baik fisik geografis maupun sosial-ekonomi-budaya.  Tim fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan kaji tindak dan kaitannya dengan Program IDT, ruang lingkuo tugas, organisasi, proses, jangka waktu, dan cara kerjanya. Bersamaan dengan itu dilakukan pengenalan masalah dan kebutuhan. Kisah Program IDT berikut ini sebagian diperoleh dari kegiatan itu.
            Meski informasi tentang Program IDT terus-menerus diikuti dari media massa dan penelitian empiris, sebelum kaji-tindak, namun kondisi pokmas yang ditemukan pada beberapa saat tiba didesa sungguh diluar dugaan. Masalah-masalah yang menyeliuti pokmas sangat kompleks, lebih dari sekedar persoalan-persoalan teknis organisatoris. Bagian ini akan memapar keadaan pokmas pada awal kaji tindak berlangsung.
                        KONDISI POKMAS AWAL THUN KEEMPAT
            Jumlah penduduk 14 desa pada bulan juni 1997 mencapai 6.213 jiwa (1.407 KK). Penduduk yang terbanyak 1.484 jiwa (339 KK) terdapat di Desa Sainoa dan yang tersedikit 175 jiwa (49 KK) di Desa Oneete dari 1.407 KK penduduk 14 desa, 1.333 KK (94,75 pesen) diantaranya termasuk anggota pokmas penerima dana IDT. Mereka tergabung dalam 42 pokmas dan menerima dan IDT sebanyak Rp. 560 juta dari tiga tahap pencairan. Lima desa memperoleh dana IDT satu kali ( Rp. 20 juta, yaitu Dampala, Lalampu, Padabaho, Oneete, dan Koburu), lima desa mendapat dua kali (40 juta, yaitu Siumbatu, Padopado, Lokombulu, Pulau Bapa, dan Jawi-jawi), dan tiga desa memperoleh tiga kali ( Rp. 60 juta, yaitu Bakala, Buton dan Sainoa). Satu pengecualian terjadi di Desa Lele, menerima dana Rp. 80 juta karean pada tahun pertama, UPT Lele masih dikategorikan sebagai desa tersendiri yang terpisah dari Desa Lele. Pada tahun kedua UPT Lele digabung ke dalam Desa Lele, sehingga termasuk desa yang berpenduduk diatas 100 KK dan mendapat dana IDT tiga kali.
            Jumlah pokmas bervariasi antar-desa, yang terbanyak terdapat didesa Sinoa (11 pokmas) dan yang paling sedikit terdapat di Desa Dampala, Lalampu, dan Oneete (masing-masing satu pokmas). Begitu juga dengan jumlah anggotanya bervariasi antar desa, pokmasnyang paling banyak anggotanya adalah Pokmas Usaha baru didesa Oneete yaitu 47 orang dan paling sedikit 23 orang di Pokmas Rumput Laut dan Pokmas Sehati di Desa Koburu, serta Pokmas Karya Baru di Desa Padabaho.
            Dari 41 Pokmas yang terbentuk di 14 desa lokasi kaji tindak, tinggal dua pokmas saja yang masih menunjukan tanda-tanda hidup (modal bergulir), tetapi kemudian kedua pokmas juga diketahui penuh dengan manipulasi. Dua pokmas dimaksud berada di Desa Pulau Bapa yang salah satunya terpilih sebagai Pokmas terbaik Kabupaten Poso tahun 1997. Sisanya, 9 pokmas yang baru dibentuk untuk menerima pencairan dana tahun ketiga berjalan kurang lancar, dan 30 lainnya yang dibentuk tahun pertama dan tahun kedua dalam keadaan koma. Disebut koma, karena kegiatan pokmas (pengangsuran dan perguliran) telah berhenti hanya beberapa bulan sejak dibentuk atau beberapa bulan hingga dua tahunan sebelum kaji tindak berlangsung.
                        PUDARNYA KEPERCAYAAN
            Kondisi pokmas yang sedemikian cepat mengalami kemacetan memang mengundang banyak tanda tanya tentang konsepsi dan praksis Program IDT. Program IDT sering didefinisikan sebagai program yang ingin memberikan kepercayaan kepada penduduk miskin di desa-desa tertinggal untuk mengembangkan potensi diri dan lingkungannnya dengan menyediakan bantuan modal kerja, pendampingan, dan dukungan teknis, dengan maksud agar penduduk miskin dapat melepaskan diri dari kemiskinan, nahkan mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.
            Semangat memberi kepercayaan itu dapat dilihat dari mekanisme formal Program IDT yang memberi kesempatan kepada masyarakat desa berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program. Satu evaluasi yang paling nyata terletak pada mekanisme penyaluran dana IDT, yakni bantuan modal kerja langsungdisalurkan kepada pengurus pokmas setelah mendapat persetujuan kepala desa selaku Ketua Umum LKMD dan Kepala Seksi PMD Kecamatan. Mekanisme tersebut belum pernah terjadi sebelumnya; terbukti efektif mengantarkan dana IDT kepada pokmas dan seterusnya kepada penduduk miskin dan anggota pokmas. Akan tetapi, berhasil menyalurkan dan IDT kepada penduduk miskin tentulah baru tujuan antara saja, sebagai jembatan untuk mencapai tujuan program yang lebih hakiki, menumbuhkembangan potensi diri dan lingkungan penduduk miskin di desaa-desa tertinggal secara berkelanjutan. Keberlnjutan hanya dapat terjmain apabila gagasan penanggulangan kemiskinan tersebut terlembaga ke dalam komunitas setempat, antara lain ditunjukan oleh bekerjanya fungsi-fungsi organisasi pokmas. Misi Program IDT yang ingin memberi kepercayaan kepada masyarakat di desa tertinggal mengusik dipertanyakan dan dijawab.
            Pertama-tama kita harus memiliki persepsi yang sama tentang arti kepercayan sosial. Kepercayaan dalam relasi sosial lazimnya bersifat bifunngsional, yaitu anatr dua pihak yang berinteraksi satu sama lain dengan landasan saling percaya, tidak saling curiga. kepercayaan sosial hanya dapat dicapai melalui interaksi sosial yang teruji dan berkualitas. Bagi program IDT atau program apa pun yang bermaksud memberikan kepercayaan kepada masyarakat desa, jawabannya terletak pada kondisi kpercayaan sosial (kerukunan) yang tecipta didalam komunitas setempat. Bagaimana hubungan saling percaya antara pemerintah dan masyarakat terbina dalam kegiatan pembangunan sebelum Program IDT, perlu ditanyakan.
             Ketika ditanyakan program/proyek apa asaja yang masuk ke desa sebelum Program IDT, masyarakat desa spontan menempatkan Inpres Bandes dibagian terdepan, baru menyusul program/proyek lain. Spontanitas itu wajar, selain karena Inpres Bandes berlangsung setiap tahun dan telah berumur puluhan tahun, program lain memang tergolong jarang masuk desa. Penilaian masyarakat terhadap Inpres Bandes agak mengejutkan. Tak jarang didengar ocehan warga yang bernada agak sisnis, seperti yang terlukis dalam pernyataan seorang mantan aparat desa berikut “apa itu Bandes!? Cuma bikin bodok saja, kito orang. Bandes itu bukan Bantuan Desa, tapi Banjir Desakan. Bangdes (intansi terkait penulis) itu juga bukan pembangunan desa, tapi bangkrutkan desa”. Dibalik ocehan itu, masyarakat desa rupanya telah cukup lama merasa dipaksa menerima data Bandes dalam bentuk barang (kursi, televisi, parabola, semen, generator, motor laut) yang berbeda dengan usulan rencana proyek yang mereka usulkan dari desa. Sejauh itu usulan mengalami perubahan, masyarakat desa juga trenyata tidak mendapat penjelasan mengapa terjadi perubahan usulan, dimana kurangnya dan bagaimana sebaiknya agar bisa memperbaiki usulan tahun berikutnya. Yang diketahui masyarakat adalah harga barang yang disediakan biasanya membengkak hingga dua kali lipat dari harga yang berlaku di tingkat lokal.
            Makna pembangunan ditengah masyarakat desa rupanya juga telah mengalami pembiasan sedemikian rupa. Pertama, bias fisik, yaitu segala proyek yang menghasilkan bangunan fisik atau monumen. Kedua, bias subjek dimana masyarakat desa menempatkan dii sebagai pengikut. Ketiga, bias objek dari objek yang bersifat sekunder-tersier (MCK, Balai Desa). Keempat, bias tujuan dari orientasi keswadayaan- kemandirian ke ketagihan bantuan-bantuan.
            Masyarakat desa, termasuk tokoh dan pimpinan lembaga formal di desa (Pemerintah Desa, LKMD, LMD) sebenarnya senantiasa mempertanyakan penyimpangan pelaksanaan program/proyek. Mereka tak jarang melayangkan protes kepada berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi karena beragam saluran aspirasi Cuma berlindung dibawah pernyataan. Patut dicatat, masyarakat desa seringkal sulit memebedakan oknum dengan organisasi. Dimata mereka setiap orang bekerja atas nama pemerintah, terlepas dari apakah orang tersebut bekerja sebagai pegawai kantor camat, guru, bidan, polisi dan tentara, hingga pendamping atau petugas swasta pelaksanaan proyek pemerintah, itu semuanya pemerintah.
            Kepala desa dan aparatnya sebagai pihak pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat desa senantiasa menjadi sasaran kritik dan bahkan fitnah dari kelompok masyarakat yang tidak puas, yang beroposisi secar terbuka atau tersembunyi. Alasannya yang umum karena dianggap tidak bertanggungjawab atau tidak becus memperjuangkan kepentingan masyarakat desa. Kepemiminan kepala desa sendiri akan menjadi semakin rentan apabila ia terlibat dalam penyimpangan (umum terjadi di desa-desa kasus).
            Dinamika yang terjadi dibawah permukaan sangat kontraproduktif, antara lain tercirikan oleh: (1) perselisihan kronis antar kelompok di desa meskipun jumlah penduduk desa kebanyakan dibawah 100 KK, erap diikuti oleh munculnya kelompok-kelompo alternatif dipihak yang paling jauh dari kutub kekuasaan desa; (2) menguatnya suasana tidak saling percaya dan tidak perduli, akibat norma dan nilai dasar komunitas tidak lagi berdiri tegak; (3) melemahnya kepercayaan masyarakat pada lembaga-lembaga desa (pemerintah desa, LKMD, LMD dan lembaga lain); (4) berbiasnya pengertian dan peranan masyarakat desa dalam pembangunan, dari subjek menjadi sekedar objek, mengikuti apa maunya pemerintah; (5) hilangnya kepercayaan atas kemampuan diri sendiri, merasa tak mampu, merasa tak berarti apa-apa, dan segala macam gejala pemencilan diri.
            Semangat Program IDT memberi kepercayaan kepada masyarakat berhadapan dengan suasana dimana masyarakat desa sendiri sedang kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan kepada dirinya sendiri. Sosialisasi IDT dilakukan sangat singkat dengan mendatangi desa sekali dua kali saja untuk menjelaskan isi Buku Panduan, itu pun dengan cara-cara priyayi (instruktif). Proses sosialisasi yang bermula dengan cara priyayi pun berantai; dari pimpinan desa ke pokmas dan dari pengurus pokmas kepada anggita. Hasilnya, diatas kertas semua prosedur administratif beres, tetaoi dari segi proses sosial ia jauh dari sifat taat azasnya.
            Proses sosial yang mekanistim seperti itu disebabkan oleh paling tidak empat hal. Pertama, cara priyayi memang telah mentradisi dikalangan aparat saat berhadapan dengan masyarakat desa. Kedua, secara objektif ketersediaan aparat di kecamatan memang tidak memadai untuk melayani semua desa karena jarak anatar desa saling berjauhan. Ketiga, secara generik Program IDT dijalankan dalam rel birokrasi yang sentralisasi. Semua mengikuti disiplin tahun anggaran. Bagaimana bisa dijelaskan bahwa irama kerja di kecamatan di kabupaten Bogor disamakan dengan irama kerja dikecamatan kasus ini. Juga bagaimana dijelaskan pembiayaan program , seperti biaya operasionan program (BOP), serba sama di semua wilayah. Keempat mandulnya kontrol sosial.  Soal pengawasan yang lemah sudah menjadi masalah dimana saja. Yang membedakan, pengawasan didekat pusat pemerintah lebih insiatif dari pada didaerah-daerah terpencil. Dikecamatan kasus ini aparat pemerintah bisa melakukan apa saja , termasuk melakukan untuk tidak melakuka apa pun.
            Waktu IDT datang masyarakat anggap pemberian Cuma-Cuma. Khusus bagi anggota pokmas yang langsung menggunakan dana IDT untuk usaha produktif terbentuk pola penggunaan dana yang berbeda antara Zona Daratan dan Zona Kpeulauan. Dizona daratan yang sebagian besar usaha masyarakatnya adalah petani menggunakan dana IDT dalam dua pola. Pertama, usaha yang dipilih bukan usaha yang dikuasai nya sevcara teknis atau kalaupun dikuasai secara teknis, tidak memiliki kelayakan ekonomis yang sesuai dengan kondisi keterpencilan wilayahnya. Kedua, anggota pokmas langsung membuka usaha meskipun menurut kalender musim yang mereka pahami tidak tepat.
            Dizona kepulauan, putaran ekonomi jau lebih cepat karena anggota pokmas berusaha dibidang penelayanan. Karena persiapan sosial yang meanistis, dan aratusa ribu rupiah yanng diterima anggota pokmas serba tanggung untuk memperbaiki struktur pemodalan usaha nelayan. Sebagian kecil anggota pokmas yang siap, memang ada yang berinisiatif menggunakan dana IDT membeli mesin ketinting dengan menyediakan uang tambahan dari kantong sendiri. Tetapi sebagian besar anggota pokmas hanya membeli alat tangkap yang sebenarnya kurang efektf (prioritas) untuk meningkatkan kapasitas usaha mereka. Pola-pola yang berkembang dalam penggunaan dana IDT secara umum memang kurang efektif untuk memperkuat kapasitas usaha anggota pokmas. Akibatnya, kemampuan mereka untuk mengembalikan pinjaman kepada pokmas cenderung menurun. Ditambah dengan lemahnya pemahaman anggota pokmas terhadap substansi program, kemandegan pengangsuran dan perguliran pun mengancam. Kesejahteraan anggota pokmas sebenarnya menurun setelah program IDT, karena mereka harus menyisihkan pendapatan normalnya untuk membayar angsuran kepada pokmas. Karena yang terjadi adalah pemaksaan diri. Kehadiran pendamping tak dapat lagi menahan kemandegan pengangsuran. Aturan main pokmas yang disepakati dilanggar beramai-ramai oleh anggota dan pengurusnya. Dihadapan pendamping masing-masing mencari caranya sendiri-sendiri untuk menyelamatkan diri.
            Pertama, anggota pokmas enggan hadir dalam forum per-IDT_an didesa atau menghindar bertemu dengan pengurus pokmas, pendamping atau aparat kecamatan. Kedua, bersikap defensif atau melempar tanggungjawab jika berhadapan dengan pihak penagih (pengurus atau utusan pokmas)     . ketiga, melakukan perlawanan secara terbuka dengan cara mengaitkan masalah pribadi kearus kelompok yang lebih luas. Pola ini berkembang pada kebanyakan desa kasus. Satu pihak yang paling sering dijadikan cantolan untuk melakukan perlawanan dan pembelaan diri adalah kepemimpinan desa. Dalam hal ini, 13 dari 14 desa kasus, kepala desa nya memang memiliki cacat dalam pengelolaan dana IDT. Kepala-kepala desa yang nota bene tidak boleh menjadi anggota pokmas, dengan pengaruhnya mengintervensi pokmas untuk memperoleh konsesi tertentu dalam mempergunakan dana IDT, misalnya (1) meminta istilah halus memaksa uang kepada pengurus pokmas dengan cara dibawah tangan tanpa sepengetahuan rapat anggota, (2) memaksakan nepotisme dalam keanggotaan maupun kepengurusan pokmas, saat pembentukan atau setelah berjalan; (3) meminjam dana IDT dalam jumlah yang melebihi jumlah pinjaman anggota atas nama anggota keluarga; (4) memaksakan kehendak untuk menetapkan aturan main yang tidak disenangi kebanyakan anggota kelompok. Kecuali itu, ada juga kasus dana IDT langsung dengan tagihan tunggakan pajak, sumbangan perayaan, hingga uang lelah setaraf tanda tangan.
            Temuan-temuan diatas, dapat sebut bahwa kemandegan pokmas merupakan dampak kumulatif dari beragam faktor yaitu,
1. Kesalahan persepsi
            Masyarakat desa menganggap dana IDT dalaha pemberian Cuma-Cuma atau hibah tanpa syarat dari pemerintaah kepada individu, dan karenanya, mereka menganggap tidak perlu mengembalikan dan mengembangkan dana tersebut di dalam pokmas.kesalahan persepsi sendiri terjadi karena banyak faktor, antara lain, pertama sosialisasi berlangsung sambil lalu, tidak konsisten di satu sisi ada parat yang mengatakan dana IDT pemberian tanpa syarat atau hadiah Cuma-Cuma menjelang pemilu, disisi lain ada yang mengatakan hibah bergulir atau kredit, atau dana IDT yang penuh aturan ini itu. Kedua, jumlah dan kemampuan aparat sangat tidak rasional untuk melayani desa-desa tertinggal yang sulit dijangkau. Ketiga, metode sosialisasi bersifat instruktif, tidak dialogis,, dan partisipatif, selain karena keterbatasan waktu hal ini juga tetrkait dengan kultur parat yang cenderung menampilkan  diri sebagai “atasan” dari pada “mitra” bagi masyarakat.
2. Rapuhnya kelembagaan Pokmas
            Aspek kelembagaan Pokmas umumnya sangat rapuh, tidak memiliki aturan main yang jelas, dan mencirikan teerselenggaranya otonomi organisasi dalam menjalankan aktifitasnya.
3. Pengurus menyelewengkan Dana Pokmas
            Penyelewengan pengurus umumnya terjadi terhadap dana pengembalian anggota yang berada ditengah pengurus, terutama bendahara. Kejadian semacam ini hampir selalu menyeabkan enggannya anggota mengangsur pinjamannya (macet).
4. Kegagalan Usaha
Secara objektif, kegagalan usaha anggota memang terjadi disebagian pokmas, baik karena gagal produksi maupun gagal pasar. Namun jika ditelusuri lebih dalam, alasan kegagalan usaha cenderung dibesar-besarkan untuk mendapat pembenaran dan dukungan atsa sikap mereka yang menginginkan agar penggagas program segeera “melupakan” pokmas.
5. Campur Tangan Kontraproduktif dari Pemuka Desa
            Campur tangan yang tidak proporsional dari petinggi desa terhadap rumahtangga pokmas berlangsung dalam tiga bentuk, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
6. Pengawasan Dan Dukungan Teknis Minim
            Sejauh ini kemacetan perguliran terjadi dan pemuka formla berulangkali melakukan campur tangan yang kontraproduktif pada pokmas, pengawasan dari instansi pemerintah terhadap aparatnya tidak berjalan.
7. Preseden Buruk Mengenai “Pembangunan”
            “Program atau proyek pembanngunan bisanya membawa uang atau membagi-bagi uang, polanya, selesai program, selesai tanggungjawa, petuas pulang, kelompok bubar dan tinggallah papan nama. Kasus manipulasi dana-dana pembangunan desa tetap saja terjadi tenpa mendapat sanksi apa-apa. Program IDT satu peluang emang, maka ramai-ramailah ambil bagian, siapa cepat akan dapat lebih banyak. Resiko tanggung bersama. Kalau sudah habis atau tidak kebagian tunggu lagi program lain, dst.”
            Kehadiran dana IDT diatas kondisi sosial tersebut persis ungkapan tetua “ air tumpah di pasir”, seketika lenyap dan tidak berbekas karena kohesifitas antar partikelnya sangat longgar. Kondisi sosial yang mengalami diskoordinsi tidak memungkinkan untuk menanggapi peluang-peluang perbaikan hidup yang ditawarkan oleh program-program secara efektif dan bertanggung jawab.
2.2 Apa Yang Dimaksud Dengan Pembangunan ?

            Pengertian pembangunan pada kasus Program IDT Tahun Keempat yaitu merubah atau memperbaiki fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat dapat dimanfaatkan dan dipenuhi dengan baik. Namun pada hakekatnya pengertian pembangunan adalah proses perubahan yang terus menerus untuk menuju keadaan yang lebih baik berdasarkan norma-norma tertentu dan perubahan tersebut dapat dimanfaatkan baik secara ekonomi maupun sosial. Contoh yang dapat diambil dari pembangunan yang pemanfaatannya secara ekonomi dalam  bahan bacaan yaitu,  “Membangun ya membuat sesuatu yang baru. Dulu kitorang tidak kenal kakao, sekarang sudah banyak orang banyak batanam” dan kutipan “Memperbanyak yang masih sedikit. Itu disinggung kebun dulu orang batanam jambu mete hanya ikut-ikutan, sekarang sudah banyak yang punya mete berhektar-hektar. Tapi itu tadi saya heran dua tahun terakhir ini tidak memuaskan. Tangofa (desa) dulu sampai 300 ton, sekarang katanya tak sampai 30 ton”.

Dari kutipan yang didapat dalam bacaan tersebut dapat dikatakan bahwa pembangunan adalah memperbaiki sistem ekonomi yang pemanfaatannya belum baik diubah pemanfaatannya menjadi lebih baik lagi agar kebutuhan ekonomi masyarakat dapat terpenuhi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Adapun pembangunan  yang pemanfaatannya secara sosial adalah pembangunan seperti fasilitas yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Contoh pembangunan yang pemanfaatannya secara sosial dalam bahan bacaan yaitu, “Ya memperbaiki yang belum baik di desa, seperti itu pendidikan di Sainoa. Atap sekolah bocor, gurunya terdaftar lima orang tapi yang aktif hanya dua orang, anak-anak sering tidak belajar, banyak yang tidak baik, misalnya kesehatan, ya pemerintahan, ya kerjasamanya, ya semuanyalah” dan kutipan “Pembangunan itu menurut saya memperbaiki yang rusak. Di desa kami, balai desa atapnya bocor sampai sekarang belum diperbaiki”. Dalam kutipan tersebut sudah jelas kebutuhan sosial masyarakat seperti, kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan fasilitas desa haruslah diperbaiki agar semua masyarakat desa dapat memanfaatkannya dengan baik.

2.3 Kegagalan Program IDT Di Lokasi Dalam Bahan Bacaan
            Kegagalan program IDT di lokasi karena minimnya sosialisasi yang diberikan dari pihak aparat kepada penduduk yang mendapatkan dana IDT tersebut, sehingga penduduk yang mendapatkan dana IDT  tidak paham akan manfaat pemberian dana tersebut. Contoh kutipan dalam bahan bacaan yaitu “ Waktu IDT datang masyarakat anggap pemberian Cuma-cuma. Saya lihat ada dua hal. Ada kegembiraan ada keresahan. Sebagian membelanjakannya untuk kebuutuhan sehari-hasri, sebagian menyimpan begitu saja karena tertumbuk mau bayar cicilan. Sebagian lagi membelikan macam tanah kosong. Ada juga yang buka kebun dan kavling di Trans. Akhirnya macet. Dari ekonomi memang tidak mungkin masyarakat mencicil disiplin. Banyak kendalanya. Mereka jelas tidak mampu bayar kalau Rp.68.000 per tiga bulan, mau dapat dari mana”.  Kurangnya pemahaman anggota pokmas akan cara penggunaan dana membuat sebagian anggota pokmas membuat mereka sulit untuk mengembalikan pinjaman ke pokmas, sehingga program IDT tersebut mengalami kegagalan. Adapun hal-hal lain yang membuat program IDT tersebut gagal yaitu kekuasaan dan penyelewengan dana yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, contoh ktipan yang menyelewengkan dana tersebut yaitu, “ Kepala-kepala desa yang nota bene tidak boleh menjadi anggota pokmas, dengan pengaruhnya mengintervensi pokmas untuk memperoleh konsesi tertentu dalam mempergunakan dana IDT, misalnya: (1) meminta istilah memaksa uang kepada pengurus pokmas dengan cara dibawah tangan tanpa sepengetahuan rapat anggota; (2)memaksakan nepotisme dalam anggota maupun kepengurusan pokmas, saat pembentukan atau setelah berjalan; (3) meminjam dana IDT dalam jumlah yang melebihi jumlah pinjaman anggota atas nama anggota keluarga; (4) memaksakan kehendak untuk menetapkan aturan main yang tidak disenangi kebanyakan anggota kelompok. Kecuali itu, ada juga kasus dana IDT langsung dipotong dengan tagihan tunggakan pajak, sumbanagan perayaan, hingga uang lelah setaraf tanda tangan”. Namun banyak faktor yang menyebabkan kegagalan pada program IDT, pertama yaitu Kesalahan Persepsi dimana masyarakat desa menganggap dana IDT diberikan secara Cuma-Cuma tanpa syarat dari pemerintah. Faktor ini disebabkan karena adanya sosialisasi yang kurang tepat dalam penyampaiannya dari pihak aparat.  Yang kedua yaitu Rapuhnya Kelembagaan Pokmas, rapuhnya kelembagaan pokmas ini ditandai banyak pengurus dan anggota pokmas yang tidak paham hak dan kewajibannya, sehingga dengan sedikit goncangan saja, kerjasama di dalam pokmas sangat mudah runtuh. Yang ketiga Pengurus Menyelewengkan Dana Pokmas, dalam bahan bacaan dapat kita ambil contoh dari kutipan “ Dibungku selatan dan Marawola, penyelewengan umum terjadi terhadap dana pengembalian anggota yang berada di tangan pengurus, terutama bendahara. Sedangkan dikarunia plus, penyelewengan sudah berlangsung sejak tahap pencairan pertama kepada anggota, namun hal ini bukan penyebab utama mandegnya Pokmas. Yang keempat Kegagalan Usaha. Yang kelima Campur Tangan Kontraproduktif Dari Pemuka Desa. Yang keenam Pengawasan dan Dukungan Teknis Minim. Yang ketujuh Preseden Buruk Mengenai “Pembangunan”.
2.4 Gejala Saling Tidak Percaya Ditengah-Tengah Masyarakat        
Dalam kasus program IDT gejala ketidak percayaan ditengah-tengah masyarakat juga  terjadi di lokasi. Ketidak percayaan masyarakat tersebut timbul karena adanya ketidak konsistenan dari pengurus Pokmas terhadap apa yang telah disepakati antara Pokmas dan masyarakat. Ketidak percayaan masyarakat yang dapat dicontohkan dalam bahan bacaan yaitu pada kutipan “kitorang capek-capek bayar angsuran supaya nanti-nati bisa pinjam lagi. Taunya dilego orang lain. Untuk apa?. Selama dorang tidak kembalikan uang itu, sungguh mati saya tidak mau bayar cicilan. Dia juga yang beking desa tambah miskin. Dulu dana Bandes kitorang belikan sapi sampai beranak dua ekor, tapi sekarang tak jelas kemana perginya”. Ada pun komentar anggota Pokmas didesa lain “kitorang ini sebenarnya sudah capek membangun. Masalah kitorang dari situ kesitu terus, tidak pernah jadi. Boss kitorang tak bisa memberi contoh yang baik. Coba lihat buku bendahara, siapa yang paling malas bayar disitu dia juga. Soal rencana bangun bendungan juga dia. Semen sudah ada, tapi dipake bikin rumahnya, ada lagi yang dipinjamkan. Sudah empat thaun bendungan tak jadi-jadi, pafahal seua sudah siap gotong royong”. Dilain desa lagi komentar anggota Pokmas tak jauh bebeda “dulu sudah disepakati, anggota pokmas itu hanya boleh yang sudah berumahtangga. Sampai Hafid waktu itu tidak bisa masuk anggota. Diam-diam ia kongkalikong dengan bendahar. Tiga anaknya masih lajang jai anggota semuanya dapat 2,4 juta. Itu diabil dari angsuran kitorang.”
2.5 Hal Yang Menyebabkan Adanya Gejala Saling Tidak Percaya
Kutipan-kutipan diatas sudah jelas bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pengurus Pokmas semakin menurun, karena banyaknya masalah yang dilakukan oleh pengurus, sehingga kegagalan program IDT pun terjadi. Masalah yang dilakukan oleh pengurus dari ketidak jelasan dana yang ada pada bendahara hingga tidak konsistennya pengurus pokmas terhadap persyaratan yang  telah disepakati antara pokmas dengan masyarakat.
 2.6 Kesimpulan mengenai gambara modal sosial masyarakat di lokasi IDT


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran



















Daftar Pustaka
Nur, Faisal, Sitti Bulkis dan Hamka Naping, 2011, “Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembangunan Infrastruktur Desa”,Jurnal Program Pasca Sarjana Unhas,EdisiSeptember, Makassar: Program Pasca Sarjana Unhas.

No comments:

Post a Comment

Sinar

Saat malam diterangi sinar bulan Aku berusaha menutup mataku Namun yang terlintas adalah bayanganmu Senyummu yang indah mengalahkan sina...