MAKALAH
KELEMBAGAAN
MASYARAKAT DESA
“
Program IDT Tahun Keempat “IBARAT AIR TUMPAH DI PASIR” ”
Disusun Oleh :
1. Resi Tri Wulan (E1D014196)
2. Aji Susanto (E1D014080)
3. Deni Asmarita (E1D014135)
4. Adriyanda (E1D014004)
5. M. Fakhri Jamil (E1D014102)
6. Febby Fattarawati (E1D014151)
7. Phita Pharamita I. (E1D014016)
8. Sintia Parera (E1D014050)
9. Doni Satria P. (E1D014010)
Dosen Pengampu : Septri Widiono,
SP. M. Si
PROGRAM
STUDI SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
BENGKULU
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lembaga
atau institusi adalah wadah untuk mengemban tugas dan fungsi tertentu dalam
rangka mencapai tujuan tertentu. Kelembagaan terbangun atas interaksi antar
individu dengan kebiasaan berpikir. Kelembagaan adalah sistem tindakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Menurut
Sitti Bulkis (2011), Kelembagaan lokal dan area aktivitasnya terbagi menjadi
tiga kategori, yaitu kategori sektor publik (administrasi lokal dan pemerintah
lokal); kategori sektor sukarela (organisasi keanggotaan dan koperasi); kategori
sektor swasta (organisasi jasa dan bisnis swasta). Bentuk resmi suatu lembaga
yaitu lembaga garis (line organization, military organization) lembaga garis
dan staf (line and staff organization); lembaga fungsi (functional
organization). Jadi pengertian dari kelembagaan adalah suatu sistem sosial yang
melakukan usaha untuk mencapai tujuan tertentu yang menfokuskan pada perilaku
dengan nilai, norma, dan aturan yang mengikutinya, serta memiliki bentuk dan
area aktivitas tempat berlangsungnya.
Kelembagaan
memiliki tugas dan fungsi yang harus diperhatikan yakni :
Tugas kelembagaaan
c. Melaksanakan dan
mengendalikan pembangunan.
Fungsi kelembagaan :
a. Penampung
dan penyalur aspirasi masyarakat dalam pembangunan.
b. Penanaman
dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam rangka memperkokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat.
d. Penyusunan
rencana, pelaksana, pengendali, pelestarian dan pengembangan hasil-hasil
pembangunan secara partisipatif.
e. Penumbuh
kembangan dan penggerak prakarsa dan partisipasi, serta swadaya gotong royong
masyarakat.
f. Penggali,
pendayagunaan dan pengembangan potensi sumberdaya serta keserasian lingkungan
hidup.
Ada
beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh suatu lembaga masyarakat yaitu,
sebuah lembaga harus dapat dipercaya oleh anggota masyarakat. Seperti halnya
kasus yang akan kita bahas dalam materi makalah yang berjudul “ PROGRAM IDT TAHUN
KEEMPAT “ IBARAT AIR TUMPAH DI PASIR” “.
1.2 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui apa itu
“pembangunan”
2. Untuk
mengetahui apa yang menyebabkan program IDT di lokasi mengalami “kegagalan”
3. Untuk
mengetahui apakah terdapat gejala saling “tidak percaya” ditengah-tengah
masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAAN
2.1 Ringkasan Isi Bahan Bacaan
Program
IDT Tahun Keempat “Ibarat Air Tumpah Di Pasir”
Perkenalan,
Pejajagan masalah dan kebutuhan adalah tugas awal setiba dilapangan. Perkenalan
dilakukan dengan cara mengunjungi semua desa secara bersama-sama oleh semua
anggota tim fasilitator dengan maksud para personil dapat lebih memahami
kondisi desa-desa baik fisik geografis maupun sosial-ekonomi-budaya. Tim fasilitator menyampaikan maksud dan
tujuan kaji tindak dan kaitannya dengan Program IDT, ruang lingkuo tugas,
organisasi, proses, jangka waktu, dan cara kerjanya. Bersamaan dengan itu
dilakukan pengenalan masalah dan kebutuhan. Kisah Program IDT berikut ini
sebagian diperoleh dari kegiatan itu.
Meski
informasi tentang Program IDT terus-menerus diikuti dari media massa dan
penelitian empiris, sebelum kaji-tindak, namun kondisi pokmas yang ditemukan pada
beberapa saat tiba didesa sungguh diluar dugaan. Masalah-masalah yang
menyeliuti pokmas sangat kompleks, lebih dari sekedar persoalan-persoalan teknis
organisatoris. Bagian ini akan memapar keadaan pokmas pada awal kaji tindak
berlangsung.
KONDISI
POKMAS AWAL THUN KEEMPAT
Jumlah
penduduk 14 desa pada bulan juni 1997 mencapai 6.213 jiwa (1.407 KK). Penduduk
yang terbanyak 1.484 jiwa (339 KK) terdapat di Desa Sainoa dan yang tersedikit
175 jiwa (49 KK) di Desa Oneete dari 1.407 KK penduduk 14 desa, 1.333 KK (94,75
pesen) diantaranya termasuk anggota pokmas penerima dana IDT. Mereka tergabung
dalam 42 pokmas dan menerima dan IDT sebanyak Rp. 560 juta dari tiga tahap
pencairan. Lima desa memperoleh dana IDT satu kali ( Rp. 20 juta, yaitu
Dampala, Lalampu, Padabaho, Oneete, dan Koburu), lima desa mendapat dua kali
(40 juta, yaitu Siumbatu, Padopado, Lokombulu, Pulau Bapa, dan Jawi-jawi), dan
tiga desa memperoleh tiga kali ( Rp. 60 juta, yaitu Bakala, Buton dan Sainoa).
Satu pengecualian terjadi di Desa Lele, menerima dana Rp. 80 juta karean pada
tahun pertama, UPT Lele masih dikategorikan sebagai desa tersendiri yang
terpisah dari Desa Lele. Pada tahun kedua UPT Lele digabung ke dalam Desa Lele,
sehingga termasuk desa yang berpenduduk diatas 100 KK dan mendapat dana IDT
tiga kali.
Jumlah
pokmas bervariasi antar-desa, yang terbanyak terdapat didesa Sinoa (11 pokmas)
dan yang paling sedikit terdapat di Desa Dampala, Lalampu, dan Oneete
(masing-masing satu pokmas). Begitu juga dengan jumlah anggotanya bervariasi
antar desa, pokmasnyang paling banyak anggotanya adalah Pokmas Usaha baru
didesa Oneete yaitu 47 orang dan paling sedikit 23 orang di Pokmas Rumput Laut
dan Pokmas Sehati di Desa Koburu, serta Pokmas Karya Baru di Desa Padabaho.
Dari
41 Pokmas yang terbentuk di 14 desa lokasi kaji tindak, tinggal dua pokmas saja
yang masih menunjukan tanda-tanda hidup (modal bergulir), tetapi kemudian kedua
pokmas juga diketahui penuh dengan manipulasi. Dua pokmas dimaksud berada di
Desa Pulau Bapa yang salah satunya terpilih sebagai Pokmas terbaik Kabupaten
Poso tahun 1997. Sisanya, 9 pokmas yang baru dibentuk untuk menerima pencairan
dana tahun ketiga berjalan kurang lancar, dan 30 lainnya yang dibentuk tahun
pertama dan tahun kedua dalam keadaan koma. Disebut koma, karena kegiatan
pokmas (pengangsuran dan perguliran) telah berhenti hanya beberapa bulan sejak
dibentuk atau beberapa bulan hingga dua tahunan sebelum kaji tindak
berlangsung.
PUDARNYA
KEPERCAYAAN
Kondisi
pokmas yang sedemikian cepat mengalami kemacetan memang mengundang banyak tanda
tanya tentang konsepsi dan praksis Program IDT. Program IDT sering
didefinisikan sebagai program yang ingin memberikan kepercayaan kepada penduduk
miskin di desa-desa tertinggal untuk mengembangkan potensi diri dan lingkungannnya
dengan menyediakan bantuan modal kerja, pendampingan, dan dukungan teknis,
dengan maksud agar penduduk miskin dapat melepaskan diri dari kemiskinan,
nahkan mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.
Semangat
memberi kepercayaan itu dapat dilihat dari mekanisme formal Program IDT yang
memberi kesempatan kepada masyarakat desa berpartisipasi dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program. Satu evaluasi yang paling nyata
terletak pada mekanisme penyaluran dana IDT, yakni bantuan modal kerja
langsungdisalurkan kepada pengurus pokmas setelah mendapat persetujuan kepala
desa selaku Ketua Umum LKMD dan Kepala Seksi PMD Kecamatan. Mekanisme tersebut
belum pernah terjadi sebelumnya; terbukti efektif mengantarkan dana IDT kepada
pokmas dan seterusnya kepada penduduk miskin dan anggota pokmas. Akan tetapi,
berhasil menyalurkan dan IDT kepada penduduk miskin tentulah baru tujuan antara
saja, sebagai jembatan untuk mencapai tujuan program yang lebih hakiki,
menumbuhkembangan potensi diri dan lingkungan penduduk miskin di desaa-desa
tertinggal secara berkelanjutan. Keberlnjutan hanya dapat terjmain apabila
gagasan penanggulangan kemiskinan tersebut terlembaga ke dalam komunitas
setempat, antara lain ditunjukan oleh bekerjanya fungsi-fungsi organisasi pokmas.
Misi Program IDT yang ingin memberi kepercayaan kepada masyarakat di desa
tertinggal mengusik dipertanyakan dan dijawab.
Pertama-tama
kita harus memiliki persepsi yang sama tentang arti kepercayan sosial.
Kepercayaan dalam relasi sosial lazimnya bersifat bifunngsional, yaitu anatr
dua pihak yang berinteraksi satu sama lain dengan landasan saling percaya,
tidak saling curiga. kepercayaan sosial hanya dapat dicapai melalui interaksi
sosial yang teruji dan berkualitas. Bagi program IDT atau program apa pun yang
bermaksud memberikan kepercayaan kepada masyarakat desa, jawabannya terletak
pada kondisi kpercayaan sosial (kerukunan) yang tecipta didalam komunitas
setempat. Bagaimana hubungan saling percaya antara pemerintah dan masyarakat
terbina dalam kegiatan pembangunan sebelum Program IDT, perlu ditanyakan.
Ketika ditanyakan program/proyek apa asaja
yang masuk ke desa sebelum Program IDT, masyarakat desa spontan menempatkan
Inpres Bandes dibagian terdepan, baru menyusul program/proyek lain. Spontanitas
itu wajar, selain karena Inpres Bandes berlangsung setiap tahun dan telah
berumur puluhan tahun, program lain memang tergolong jarang masuk desa.
Penilaian masyarakat terhadap Inpres Bandes agak mengejutkan. Tak jarang
didengar ocehan warga yang bernada agak sisnis, seperti yang terlukis dalam
pernyataan seorang mantan aparat desa berikut “apa itu Bandes!? Cuma bikin
bodok saja, kito orang. Bandes itu bukan Bantuan Desa, tapi Banjir Desakan.
Bangdes (intansi terkait penulis) itu juga bukan pembangunan desa, tapi
bangkrutkan desa”. Dibalik ocehan itu, masyarakat desa rupanya telah cukup lama
merasa dipaksa menerima data Bandes dalam bentuk barang (kursi, televisi,
parabola, semen, generator, motor laut) yang berbeda dengan usulan rencana
proyek yang mereka usulkan dari desa. Sejauh itu usulan mengalami perubahan,
masyarakat desa juga trenyata tidak mendapat penjelasan mengapa terjadi
perubahan usulan, dimana kurangnya dan bagaimana sebaiknya agar bisa
memperbaiki usulan tahun berikutnya. Yang diketahui masyarakat adalah harga
barang yang disediakan biasanya membengkak hingga dua kali lipat dari harga
yang berlaku di tingkat lokal.
Makna
pembangunan ditengah masyarakat desa rupanya juga telah mengalami pembiasan
sedemikian rupa. Pertama, bias fisik, yaitu segala proyek yang menghasilkan
bangunan fisik atau monumen. Kedua, bias subjek dimana masyarakat desa
menempatkan dii sebagai pengikut. Ketiga, bias objek dari objek yang bersifat
sekunder-tersier (MCK, Balai Desa). Keempat, bias tujuan dari orientasi keswadayaan-
kemandirian ke ketagihan bantuan-bantuan.
Masyarakat
desa, termasuk tokoh dan pimpinan lembaga formal di desa (Pemerintah Desa,
LKMD, LMD) sebenarnya senantiasa mempertanyakan penyimpangan pelaksanaan
program/proyek. Mereka tak jarang melayangkan protes kepada berbagai pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi karena beragam saluran
aspirasi Cuma berlindung dibawah pernyataan. Patut dicatat, masyarakat desa
seringkal sulit memebedakan oknum dengan organisasi. Dimata mereka setiap orang
bekerja atas nama pemerintah, terlepas dari apakah orang tersebut bekerja
sebagai pegawai kantor camat, guru, bidan, polisi dan tentara, hingga
pendamping atau petugas swasta pelaksanaan proyek pemerintah, itu semuanya
pemerintah.
Kepala
desa dan aparatnya sebagai pihak pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat
desa senantiasa menjadi sasaran kritik dan bahkan fitnah dari kelompok
masyarakat yang tidak puas, yang beroposisi secar terbuka atau tersembunyi.
Alasannya yang umum karena dianggap tidak bertanggungjawab atau tidak becus
memperjuangkan kepentingan masyarakat desa. Kepemiminan kepala desa sendiri
akan menjadi semakin rentan apabila ia terlibat dalam penyimpangan (umum
terjadi di desa-desa kasus).
Dinamika
yang terjadi dibawah permukaan sangat kontraproduktif, antara lain tercirikan
oleh: (1) perselisihan kronis antar kelompok di desa meskipun jumlah penduduk
desa kebanyakan dibawah 100 KK, erap diikuti oleh munculnya kelompok-kelompo
alternatif dipihak yang paling jauh dari kutub kekuasaan desa; (2) menguatnya
suasana tidak saling percaya dan tidak perduli, akibat norma dan nilai dasar
komunitas tidak lagi berdiri tegak; (3) melemahnya kepercayaan masyarakat pada
lembaga-lembaga desa (pemerintah desa, LKMD, LMD dan lembaga lain); (4) berbiasnya
pengertian dan peranan masyarakat desa dalam pembangunan, dari subjek menjadi
sekedar objek, mengikuti apa maunya pemerintah; (5) hilangnya kepercayaan atas
kemampuan diri sendiri, merasa tak mampu, merasa tak berarti apa-apa, dan
segala macam gejala pemencilan diri.
Semangat
Program IDT memberi kepercayaan kepada masyarakat berhadapan dengan suasana
dimana masyarakat desa sendiri sedang kehilangan kepercayaan kepada pemerintah
dan kepada dirinya sendiri. Sosialisasi IDT dilakukan sangat singkat dengan
mendatangi desa sekali dua kali saja untuk menjelaskan isi Buku Panduan, itu
pun dengan cara-cara priyayi (instruktif). Proses sosialisasi yang bermula
dengan cara priyayi pun berantai; dari pimpinan desa ke pokmas dan dari
pengurus pokmas kepada anggita. Hasilnya, diatas kertas semua prosedur
administratif beres, tetaoi dari segi proses sosial ia jauh dari sifat taat
azasnya.
Proses
sosial yang mekanistim seperti itu disebabkan oleh paling tidak empat hal.
Pertama, cara priyayi memang telah mentradisi dikalangan aparat saat berhadapan
dengan masyarakat desa. Kedua, secara objektif ketersediaan aparat di kecamatan
memang tidak memadai untuk melayani semua desa karena jarak anatar desa saling
berjauhan. Ketiga, secara generik Program IDT dijalankan dalam rel birokrasi
yang sentralisasi. Semua mengikuti disiplin tahun anggaran. Bagaimana bisa
dijelaskan bahwa irama kerja di kecamatan di kabupaten Bogor disamakan dengan
irama kerja dikecamatan kasus ini. Juga bagaimana dijelaskan pembiayaan program
, seperti biaya operasionan program (BOP), serba sama di semua wilayah. Keempat
mandulnya kontrol sosial. Soal
pengawasan yang lemah sudah menjadi masalah dimana saja. Yang membedakan,
pengawasan didekat pusat pemerintah lebih insiatif dari pada didaerah-daerah terpencil.
Dikecamatan kasus ini aparat pemerintah bisa melakukan apa saja , termasuk
melakukan untuk tidak melakuka apa pun.
Waktu
IDT datang masyarakat anggap pemberian Cuma-Cuma. Khusus bagi anggota pokmas
yang langsung menggunakan dana IDT untuk usaha produktif terbentuk pola
penggunaan dana yang berbeda antara Zona Daratan dan Zona Kpeulauan. Dizona
daratan yang sebagian besar usaha masyarakatnya adalah petani menggunakan dana
IDT dalam dua pola. Pertama, usaha yang dipilih bukan usaha yang dikuasai nya
sevcara teknis atau kalaupun dikuasai secara teknis, tidak memiliki kelayakan
ekonomis yang sesuai dengan kondisi keterpencilan wilayahnya. Kedua, anggota
pokmas langsung membuka usaha meskipun menurut kalender musim yang mereka
pahami tidak tepat.
Dizona
kepulauan, putaran ekonomi jau lebih cepat karena anggota pokmas berusaha
dibidang penelayanan. Karena persiapan sosial yang meanistis, dan aratusa ribu
rupiah yanng diterima anggota pokmas serba tanggung untuk memperbaiki struktur
pemodalan usaha nelayan. Sebagian kecil anggota pokmas yang siap, memang ada
yang berinisiatif menggunakan dana IDT membeli mesin ketinting dengan
menyediakan uang tambahan dari kantong sendiri. Tetapi sebagian besar anggota
pokmas hanya membeli alat tangkap yang sebenarnya kurang efektf (prioritas)
untuk meningkatkan kapasitas usaha mereka. Pola-pola yang berkembang dalam
penggunaan dana IDT secara umum memang kurang efektif untuk memperkuat
kapasitas usaha anggota pokmas. Akibatnya, kemampuan mereka untuk mengembalikan
pinjaman kepada pokmas cenderung menurun. Ditambah dengan lemahnya pemahaman
anggota pokmas terhadap substansi program, kemandegan pengangsuran dan
perguliran pun mengancam. Kesejahteraan anggota pokmas sebenarnya menurun
setelah program IDT, karena mereka harus menyisihkan pendapatan normalnya untuk
membayar angsuran kepada pokmas. Karena yang terjadi adalah pemaksaan diri.
Kehadiran pendamping tak dapat lagi menahan kemandegan pengangsuran. Aturan
main pokmas yang disepakati dilanggar beramai-ramai oleh anggota dan
pengurusnya. Dihadapan pendamping masing-masing mencari caranya sendiri-sendiri
untuk menyelamatkan diri.
Pertama,
anggota pokmas enggan hadir dalam forum per-IDT_an didesa atau menghindar
bertemu dengan pengurus pokmas, pendamping atau aparat kecamatan. Kedua,
bersikap defensif atau melempar tanggungjawab jika berhadapan dengan pihak
penagih (pengurus atau utusan pokmas) .
ketiga, melakukan perlawanan secara terbuka dengan cara mengaitkan masalah
pribadi kearus kelompok yang lebih luas. Pola ini berkembang pada kebanyakan
desa kasus. Satu pihak yang paling sering dijadikan cantolan untuk melakukan
perlawanan dan pembelaan diri adalah kepemimpinan desa. Dalam hal ini, 13 dari
14 desa kasus, kepala desa nya memang memiliki cacat dalam pengelolaan dana
IDT. Kepala-kepala desa yang nota bene tidak boleh menjadi anggota pokmas,
dengan pengaruhnya mengintervensi pokmas untuk memperoleh konsesi tertentu
dalam mempergunakan dana IDT, misalnya (1) meminta istilah halus memaksa uang
kepada pengurus pokmas dengan cara dibawah tangan tanpa sepengetahuan rapat
anggota, (2) memaksakan nepotisme dalam keanggotaan maupun kepengurusan pokmas,
saat pembentukan atau setelah berjalan; (3) meminjam dana IDT dalam jumlah yang
melebihi jumlah pinjaman anggota atas nama anggota keluarga; (4) memaksakan
kehendak untuk menetapkan aturan main yang tidak disenangi kebanyakan anggota
kelompok. Kecuali itu, ada juga kasus dana IDT langsung dengan tagihan
tunggakan pajak, sumbangan perayaan, hingga uang lelah setaraf tanda tangan.
Temuan-temuan
diatas, dapat sebut bahwa kemandegan pokmas merupakan dampak kumulatif dari
beragam faktor yaitu,
1. Kesalahan persepsi
Masyarakat
desa menganggap dana IDT dalaha pemberian Cuma-Cuma atau hibah tanpa syarat
dari pemerintaah kepada individu, dan karenanya, mereka menganggap tidak perlu
mengembalikan dan mengembangkan dana tersebut di dalam pokmas.kesalahan
persepsi sendiri terjadi karena banyak faktor, antara lain, pertama sosialisasi
berlangsung sambil lalu, tidak konsisten di satu sisi ada parat yang mengatakan
dana IDT pemberian tanpa syarat atau hadiah Cuma-Cuma menjelang pemilu, disisi
lain ada yang mengatakan hibah bergulir atau kredit, atau dana IDT yang penuh
aturan ini itu. Kedua, jumlah dan kemampuan aparat sangat tidak rasional untuk
melayani desa-desa tertinggal yang sulit dijangkau. Ketiga, metode sosialisasi
bersifat instruktif, tidak dialogis,, dan partisipatif, selain karena
keterbatasan waktu hal ini juga tetrkait dengan kultur parat yang cenderung
menampilkan diri sebagai “atasan” dari
pada “mitra” bagi masyarakat.
2. Rapuhnya kelembagaan Pokmas
Aspek
kelembagaan Pokmas umumnya sangat rapuh, tidak memiliki aturan main yang jelas,
dan mencirikan teerselenggaranya otonomi organisasi dalam menjalankan
aktifitasnya.
3. Pengurus menyelewengkan Dana
Pokmas
Penyelewengan
pengurus umumnya terjadi terhadap dana pengembalian anggota yang berada
ditengah pengurus, terutama bendahara. Kejadian semacam ini hampir selalu
menyeabkan enggannya anggota mengangsur pinjamannya (macet).
4. Kegagalan Usaha
Secara objektif, kegagalan usaha
anggota memang terjadi disebagian pokmas, baik karena gagal produksi maupun
gagal pasar. Namun jika ditelusuri lebih dalam, alasan kegagalan usaha
cenderung dibesar-besarkan untuk mendapat pembenaran dan dukungan atsa sikap
mereka yang menginginkan agar penggagas program segeera “melupakan” pokmas.
5. Campur Tangan Kontraproduktif
dari Pemuka Desa
Campur
tangan yang tidak proporsional dari petinggi desa terhadap rumahtangga pokmas
berlangsung dalam tiga bentuk, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
6. Pengawasan Dan Dukungan Teknis
Minim
Sejauh
ini kemacetan perguliran terjadi dan pemuka formla berulangkali melakukan
campur tangan yang kontraproduktif pada pokmas, pengawasan dari instansi
pemerintah terhadap aparatnya tidak berjalan.
7. Preseden Buruk Mengenai
“Pembangunan”
“Program
atau proyek pembanngunan bisanya membawa uang atau membagi-bagi uang, polanya,
selesai program, selesai tanggungjawa, petuas pulang, kelompok bubar dan
tinggallah papan nama. Kasus manipulasi dana-dana pembangunan desa tetap saja
terjadi tenpa mendapat sanksi apa-apa. Program IDT satu peluang emang, maka
ramai-ramailah ambil bagian, siapa cepat akan dapat lebih banyak. Resiko
tanggung bersama. Kalau sudah habis atau tidak kebagian tunggu lagi program
lain, dst.”
Kehadiran
dana IDT diatas kondisi sosial tersebut persis ungkapan tetua “ air tumpah di
pasir”, seketika lenyap dan tidak berbekas karena kohesifitas antar partikelnya
sangat longgar. Kondisi sosial yang mengalami diskoordinsi tidak memungkinkan
untuk menanggapi peluang-peluang perbaikan hidup yang ditawarkan oleh
program-program secara efektif dan bertanggung jawab.
2.2 Apa Yang Dimaksud Dengan Pembangunan
?
Pengertian pembangunan pada kasus Program IDT Tahun Keempat yaitu merubah atau memperbaiki fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat dapat dimanfaatkan dan dipenuhi dengan baik. Namun pada hakekatnya pengertian pembangunan adalah proses perubahan yang terus menerus untuk menuju keadaan yang lebih baik berdasarkan norma-norma tertentu dan perubahan tersebut dapat dimanfaatkan baik secara ekonomi maupun sosial. Contoh yang dapat diambil dari pembangunan yang pemanfaatannya secara ekonomi dalam bahan bacaan yaitu, “Membangun ya membuat sesuatu yang baru. Dulu kitorang tidak kenal kakao, sekarang sudah banyak orang banyak batanam” dan kutipan “Memperbanyak yang masih sedikit. Itu disinggung kebun dulu orang batanam jambu mete hanya ikut-ikutan, sekarang sudah banyak yang punya mete berhektar-hektar. Tapi itu tadi saya heran dua tahun terakhir ini tidak memuaskan. Tangofa (desa) dulu sampai 300 ton, sekarang katanya tak sampai 30 ton”.
Dari kutipan yang didapat dalam bacaan tersebut dapat dikatakan bahwa pembangunan adalah memperbaiki sistem ekonomi yang pemanfaatannya belum baik diubah pemanfaatannya menjadi lebih baik lagi agar kebutuhan ekonomi masyarakat dapat terpenuhi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Adapun pembangunan yang pemanfaatannya secara sosial adalah pembangunan seperti fasilitas yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Contoh pembangunan yang pemanfaatannya secara sosial dalam bahan bacaan yaitu, “Ya memperbaiki yang belum baik di desa, seperti itu pendidikan di Sainoa. Atap sekolah bocor, gurunya terdaftar lima orang tapi yang aktif hanya dua orang, anak-anak sering tidak belajar, banyak yang tidak baik, misalnya kesehatan, ya pemerintahan, ya kerjasamanya, ya semuanyalah” dan kutipan “Pembangunan itu menurut saya memperbaiki yang rusak. Di desa kami, balai desa atapnya bocor sampai sekarang belum diperbaiki”. Dalam kutipan tersebut sudah jelas kebutuhan sosial masyarakat seperti, kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan fasilitas desa haruslah diperbaiki agar semua masyarakat desa dapat memanfaatkannya dengan baik.
2.3
Kegagalan Program IDT Di Lokasi Dalam Bahan Bacaan
Kegagalan program IDT di lokasi
karena minimnya sosialisasi yang diberikan dari pihak aparat kepada penduduk
yang mendapatkan dana IDT tersebut, sehingga penduduk yang mendapatkan dana IDT
tidak paham akan manfaat pemberian dana
tersebut. Contoh kutipan dalam bahan bacaan yaitu “ Waktu IDT datang masyarakat
anggap pemberian Cuma-cuma. Saya lihat ada dua hal. Ada kegembiraan ada
keresahan. Sebagian membelanjakannya untuk kebuutuhan sehari-hasri, sebagian
menyimpan begitu saja karena tertumbuk mau bayar cicilan. Sebagian lagi
membelikan macam tanah kosong. Ada juga yang buka kebun dan kavling di Trans.
Akhirnya macet. Dari ekonomi memang tidak mungkin masyarakat mencicil disiplin.
Banyak kendalanya. Mereka jelas tidak mampu bayar kalau Rp.68.000 per tiga
bulan, mau dapat dari mana”. Kurangnya
pemahaman anggota pokmas akan cara penggunaan dana membuat sebagian anggota
pokmas membuat mereka sulit untuk mengembalikan pinjaman ke pokmas, sehingga
program IDT tersebut mengalami kegagalan. Adapun hal-hal lain yang membuat
program IDT tersebut gagal yaitu kekuasaan dan penyelewengan dana yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, contoh ktipan yang menyelewengkan dana
tersebut yaitu, “ Kepala-kepala desa yang nota bene tidak boleh menjadi anggota
pokmas, dengan pengaruhnya mengintervensi pokmas untuk memperoleh konsesi
tertentu dalam mempergunakan dana IDT, misalnya: (1) meminta istilah memaksa
uang kepada pengurus pokmas dengan cara dibawah tangan tanpa sepengetahuan
rapat anggota; (2)memaksakan nepotisme dalam anggota maupun kepengurusan
pokmas, saat pembentukan atau setelah berjalan; (3) meminjam dana IDT dalam
jumlah yang melebihi jumlah pinjaman anggota atas nama anggota keluarga; (4)
memaksakan kehendak untuk menetapkan aturan main yang tidak disenangi
kebanyakan anggota kelompok. Kecuali itu, ada juga kasus dana IDT langsung
dipotong dengan tagihan tunggakan pajak, sumbanagan perayaan, hingga uang lelah
setaraf tanda tangan”. Namun banyak faktor yang menyebabkan kegagalan pada
program IDT, pertama yaitu Kesalahan Persepsi dimana masyarakat desa menganggap
dana IDT diberikan secara Cuma-Cuma tanpa syarat dari pemerintah. Faktor ini
disebabkan karena adanya sosialisasi yang kurang tepat dalam penyampaiannya
dari pihak aparat. Yang kedua yaitu Rapuhnya
Kelembagaan Pokmas, rapuhnya kelembagaan pokmas ini ditandai banyak pengurus
dan anggota pokmas yang tidak paham hak dan kewajibannya, sehingga dengan
sedikit goncangan saja, kerjasama di dalam pokmas sangat mudah runtuh. Yang
ketiga Pengurus Menyelewengkan Dana Pokmas, dalam bahan bacaan dapat kita ambil
contoh dari kutipan “ Dibungku selatan dan Marawola, penyelewengan umum terjadi
terhadap dana pengembalian anggota yang berada di tangan pengurus, terutama
bendahara. Sedangkan dikarunia plus, penyelewengan sudah berlangsung sejak tahap
pencairan pertama kepada anggota, namun hal ini bukan penyebab utama mandegnya
Pokmas. Yang keempat Kegagalan Usaha. Yang kelima Campur Tangan Kontraproduktif
Dari Pemuka Desa. Yang keenam Pengawasan dan Dukungan Teknis Minim. Yang
ketujuh Preseden Buruk Mengenai “Pembangunan”.
2.4
Gejala Saling Tidak Percaya Ditengah-Tengah Masyarakat
Dalam
kasus program IDT gejala ketidak percayaan ditengah-tengah masyarakat juga terjadi di lokasi. Ketidak percayaan
masyarakat tersebut timbul karena adanya ketidak konsistenan dari pengurus
Pokmas terhadap apa yang telah disepakati antara Pokmas dan masyarakat. Ketidak
percayaan masyarakat yang dapat dicontohkan dalam bahan bacaan yaitu pada
kutipan “kitorang capek-capek bayar angsuran supaya nanti-nati bisa pinjam
lagi. Taunya dilego orang lain. Untuk apa?. Selama dorang tidak kembalikan uang
itu, sungguh mati saya tidak mau bayar cicilan. Dia juga yang beking desa
tambah miskin. Dulu dana Bandes kitorang belikan sapi sampai beranak dua ekor,
tapi sekarang tak jelas kemana perginya”. Ada pun komentar anggota Pokmas didesa
lain “kitorang ini sebenarnya sudah capek membangun. Masalah kitorang dari situ
kesitu terus, tidak pernah jadi. Boss kitorang tak bisa memberi contoh yang
baik. Coba lihat buku bendahara, siapa yang paling malas bayar disitu dia juga.
Soal rencana bangun bendungan juga dia. Semen sudah ada, tapi dipake bikin
rumahnya, ada lagi yang dipinjamkan. Sudah empat thaun bendungan tak jadi-jadi,
pafahal seua sudah siap gotong royong”. Dilain desa lagi komentar anggota
Pokmas tak jauh bebeda “dulu sudah disepakati, anggota pokmas itu hanya boleh
yang sudah berumahtangga. Sampai Hafid waktu itu tidak bisa masuk anggota.
Diam-diam ia kongkalikong dengan bendahar. Tiga anaknya masih lajang jai
anggota semuanya dapat 2,4 juta. Itu diabil dari angsuran kitorang.”
2.5
Hal Yang Menyebabkan Adanya Gejala Saling Tidak Percaya
Kutipan-kutipan
diatas sudah jelas bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pengurus Pokmas
semakin menurun, karena banyaknya masalah yang dilakukan oleh pengurus,
sehingga kegagalan program IDT pun terjadi. Masalah yang dilakukan oleh
pengurus dari ketidak jelasan dana yang ada pada bendahara hingga tidak
konsistennya pengurus pokmas terhadap persyaratan yang telah disepakati antara pokmas dengan
masyarakat.
2.6
Kesimpulan mengenai gambara modal sosial masyarakat di lokasi IDT
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.2
Saran
Daftar Pustaka
Nur, Faisal,
Sitti Bulkis dan Hamka Naping, 2011, “Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembangunan
Infrastruktur Desa”,Jurnal Program Pasca Sarjana Unhas,EdisiSeptember,
Makassar: Program Pasca Sarjana Unhas.
No comments:
Post a Comment